.post-body img { width:500px! important; height:auto! important;}

Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header Ad

//

Breaking News

latest

Geger Dunia! AS Usulkan 2 Juta Warga Gaza Direlokasi ke Indonesia, Pakar Bongkar Bahaya Besar di Baliknya!

  Gaza - Amerika Serikat kembali membuat dunia terkejut. Negara adidaya itu menjadi satu-satunya anggota Dewan Keamanan PBB yang memveto re...

 

Gaza - Amerika Serikat kembali membuat dunia terkejut. Negara adidaya itu menjadi satu-satunya anggota Dewan Keamanan PBB yang memveto resolusi gencatan senjata tanpa syarat di Jalur Gaza. Padahal, situasi di wilayah tersebut kian mencekam akibat serangan brutal Israel.

Di tengah kondisi krisis ini, muncul kabar mengejutkan tentang wacana relokasi dua juta warga Gaza ke Indonesia. Isu ini pertama kali diungkapkan dalam laporan NBC News, media asal AS, pada Minggu (19/1/2025) — hanya dua hari jelang pelantikan Presiden AS Donald Trump. Dalam laporan itu, utusan Timur Tengah Trump, Steve Witkoff, mengungkapkan gagasan relokasi warga Gaza ke Indonesia sebagai solusi sementara selama masa gencatan senjata.

Isu yang Memicu Pro Kontra

Menanggapi kabar tersebut, Yusli Effendi, dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya sekaligus pakar Timur Tengah, memberi pandangan kritis. Menurutnya, wacana ini sangat sensitif dan berisiko besar, baik dari sisi politik, sosial, maupun ekonomi.

“Ini bukan pernyataan resmi antarnegara. Lebih tepat disebut sebagai strategi ‘testing the water’, di mana Amerika Serikat ingin melihat reaksi dunia terhadap ide ini,” jelas Yusli.

Ia menegaskan, karena tak ada jalur diplomasi resmi yang menyampaikan isu ini, wajar bila pemerintah Indonesia menyatakan tidak menerima informasi apapun dari pihak AS.

Ancaman Hilangnya Identitas Palestina

Lebih jauh, Yusli menilai wacana relokasi massal ini bisa menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan memori sejarah Palestina. Ia menyebut, bila warga Gaza dipaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka, itu sama saja mengulang peristiwa tragis Nakbah 1948, saat ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanahnya oleh Israel.

“Jika ini benar-benar terjadi, bukan hanya identitas kolektif Palestina yang hilang, tapi juga artefak sejarah, budaya, dan bukti perjuangan rakyat Gaza bisa musnah,” tegasnya.

Selain itu, Yusli menyebut rencana relokasi dua juta orang ke Indonesia sebagai hal yang sangat tidak realistis. “Jarak yang jauh, perbedaan budaya, dan kompleksitas logistik membuat gagasan ini sulit untuk diwujudkan,” imbuhnya.

Dampak Besar bagi Indonesia

Jika wacana ini dipaksakan, Indonesia diprediksi menghadapi beban berat. Mengingat Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, maka status warga Gaza hanya akan sebagai pencari suaka tanpa jaminan hak setara dengan pengungsi.

Yusli pun membandingkan situasi ini dengan kasus pengungsi Rohingya di Aceh. “Saat itu saja sudah menimbulkan tantangan sosial. Bagaimana kalau jumlahnya sampai dua juta? Soal pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, hingga pernikahan pasti akan memicu persoalan baru,” jelasnya.

Di sisi lain, Yusli juga mengingatkan bahwa Indonesia saat ini masih berjuang mengatasi masalah kemiskinan domestik. “Kita masih punya PR besar di dalam negeri. Jangan sampai terbebani masalah baru tanpa perhitungan matang,” ujarnya.

Membaca Kepentingan Amerika

Lebih dari sekadar wacana kemanusiaan, Yusli meyakini isu ini sarat kepentingan politik AS. Ia menyebut NBC News sebagai media yang turut membawa agenda pemerintah.

“Tidak ada media benar-benar netral, apalagi saat berbicara isu Palestina-Israel. Witkoff, yang melontarkan ide ini, dikenal sebagai rekan bisnis Trump. Jadi patut dicurigai ada kepentingan tertentu di balik isu ini,” ungkap Yusli.

Ia juga menduga nama Indonesia sengaja disebut karena citranya sebagai negara paling lantang membela Palestina. “Kalau Indonesia menerima, pasti kewalahan. Kalau menolak, bisa saja dicap tidak peduli. Ini strategi politik yang licik,” tambahnya.

Diplomasi Multilateral: Solusi Bijak

Sebagai solusi, Yusli mengajak Indonesia untuk lebih aktif dalam diplomasi multilateral, khususnya di PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

“Masalah Palestina harus menjadi tanggung jawab bersama, khususnya negara-negara Arab. Sayangnya, selama ini solidaritas mereka tidak solid. Indonesia harus terus mendorong agar negara Arab berbuat lebih,” tegasnya.

Di akhir pernyataannya, Yusli mengingatkan bahwa dukungan terhadap Palestina tetap menjadi bagian penting dalam amanat konstitusi Indonesia. Namun, solusi yang dipilih harus tetap adil dan tidak merugikan pihak lain.

No comments